Kisah-kisah Imigran di Australia

Coretan kisah-kisah kaum imigran yang menetap di Australia (theresajackson@iinet.net.au). Silakan buka My Complete Profile, terdapat 5 Blog yang lain; Toys of Migrants in Australia, Resep Dapur IndoAus, Sketsa Kehidupan di Australia, Persahabatan Indo-Jepang di Australia, Kerabat Jawa di NSW.

Saturday, January 27, 2007

Life in Australia

Please open http://theresajackson.multiply.com/ for the continuation of this blog, thank you!

Thursday, May 25, 2006

Kisah Maria Espinosa (3)

Dari kecil ia sudah dididik menunggang kuda balap. Dahulu mereka memiliki sebuah rumah besar dan mewah di Rose bay. Namun Maria dan keluarganya memiliki kegemaran berjudi, taruhan kuda. Mereka teman baik keluarga Waterhouse, cukong pacuan kuda paling terkenal di Melbourne Cup. Gai waterhouse pewarisnya itu bahkan teman baik Maria. Kegemarannya itu menghantarkannya pada kebangkrutan. Terakhir rumah dan segala perabot antiknya disita bank. Semua teman-teman telah meninggalkannya. Ia bahkan tidak bisa memiliki referensi untuk menyewa apartemen.

Tapi herannya darimana datangnya uang untuk membayar sewa kamar yang 70 dolar sehari itu? Sungguh suatu misteri. Ketika ditanya mengapa tidak mau tinggal di rumah yang disediakan pemerintah bagi orang tidak mampu ia berkata :"Aku masih ingin bebas mengatur hidupku sendiri, aku tak ingin hidupku diatur oleh orang."

Saat kujabat tangannya terakhir sebelum pergi, matanya bersinar sendu seraya bergumam:" Kunjungi aku lagi ya, aku tak punya teman..."

Terngiang olehku lagu "Judi" oleh Rhoma Irama, memang judi membawa sengsara, judi lebih banyak membawa duka daripada suka!

Kisah Maria Espinosa (2)

Ketika tersenyum, sederet gigi depannya nampak telah banyak yang tanggal. Perhiasannya lengkap bergelantungan, ia juga mirip seorang wanita Gypsi.

"Maafkan gigiku, ya..."Ujarnya malu. "Aku tak punya biaya untuk memperbaikinya. Ia pun mempersilakan aku masuk namun kutolak dengan halus dengan alasan sedang menunggu tamu. "Aku pun tak punya duit lagi untuk minum kopi," keluhnya sedih. Aku pun menawarkan diri untuk mencarikannya kopi yang dengan mudah kuperoleh dari kamar sebelah di mana tamu yang kunanti belum juga pulang.
Kopi dalam cangkir porselen merk "Lucky" kuantarkan padanya dan kulayani ia minum. Kasihan, kakinya hanya satu, yang lain pun telah diamputasi sebatas lutut karena rupanya ia pengidap diabetes berat. Aku menyesal telah menaruh gula ke dalam kopinya menuruti permintaannya.

Sambil menyeruput kopi ia mulai bercerita tentang hidupnya. Pada tahun 1950-an ia bermigrasi ke Australia bersama ayah dan ibunya dari Madrid, Spanyol. Ia anak tunggal yang sangat dimanja. Dahulu ia pandai menari tarian spanyol diiringi kastanyet, mengingatkanku pada keanggunan lagu Granada. Sungguh berbeda dengan kondisinya kini.

Kisah Maria Espinosa (1)



Ketika kebetulan menemui seorang tamu dari Indonesia di sebuah motel di suatu suburb di Sydney, aku melihat sesosok tubuh wanita yang duduk di atas kursi roda di kamar nomor 113. Sanggulnya berbunga merah-putih, gaunnya bermotifkan kulit macan tutul. Pintu kamarnya terbuka lebar sehingga menghamparkan pandangan di dalamnya, tumpukan pakaian serta tas-tas plastik bertumpuk di sudut kamar dan di atas tempat tidur.

Sudah lama aku ingin mengetahui kehidupan seorang yang disebut "The Bag Lady", orang yang mendapat julukan itu hidupnya mengembara dan semua harta miliknya berada dalam tas-tas plastik.

Di Sydney pernah ada seorang "Bag Lady" bernama B.Miles. Hidupnya menggelandang namun ketika meninggal, ternyata ia kaya raya. Konon ia pernah menyewa taksi dari Sydney ke Perth (4000 kilometer). Peninggalannya bernilai jutaan dolar.

Tamu yang ditunggu-tunggu belum juga tiba dari berbelanja di kota sehingga kuberanikan diriku untuk mendekati wanita itu. Jendela kamarnya terbuka dan ia sedang asyik meroko, asapnya berjubal-jubal macam lokomotif. Televisinya hidup dan ia sedang asyik menonton tayangan balapan kuda. Ketika kuberanikan diri untuk melongokkan leher ke jendelanya, senyumnya terkembang menyambutku dengan ramah dan jadilah aku memperkenalkan diriku. Kami pun berjabatan tangan. Aku berada di luar jendela dan ia mendekatkan dirinya padaku dengan menggeserkan kursinya. Kuku jarinya bercat coklat tua dan runcing mirip nenek sihir.

Wednesday, May 24, 2006

Tiga Bulan yang Tak Terlupakan (3)


"Tiga hari yang lalu, mbak, kupangkas rambut dan jambangku. Aku mandi dan bercukur serta membersihkan diri total. Kubeli baju dan celana baru dan kujemput ibuku di bandara. Ia tak tahu perihal keberadaanku di hutan. Memang banyak sekali uang kuhemat
dengan cara demikian, tak perlu bayar sewa kamar, listrik, gas dan lain-lain. Setiap 2 minggu ketika pergi ke kota aku menelepon ibu. Ibu sama sekali tidak tahu tentang keadaanku."

Saya menghela nafas panjang mendengar ceritanya. Dari ekor mata saya lihat ibunya bergembira berceloteh-ria tanpa menyadari apa yang telah dialami anaknya 3 bulan terakhir ini. Tim menerawang jauh ke depan, menengok pemandangan hutan rimba beton Sydney, ia sudah siap menempuh perjalanan hidup yang baru. Kini Tim telah menamatkan kuliahnya tetapi pengalaman tiga bulan hidup di hutan itu tak akan pernah dilupakannya!

(Kisah Nyata 1998, ditulis pada tanggal 23 Januari 2002)

Tiga Bulan yang Tak Terlupakan (2)


Belum pernah saya berjumpa dengan orang di zaman modern ini tinggal di hutan, memang di Australia ada beberapa kelompok orang nomad yang suka tinggal di alam bebas seperti di daerah Nimbin atau Byron Bay. Mereka hidup seperti 'hippies'. Tentu saja ada orang Aborijin di daerah Australia Tengah atau Utara yang juga bersifat nomad, mengembara berpindah-pindah tempat tetapi ini orang Indonesia (walaupun campuran) dan baru saja tinggal di hutan selama 3 bulan? Alamak, hidup bak Tarzan di era komputer? Itu hal yang sama sekali baru!

Tim bercerita, karena kuatir akan keuangan keluarga yang menipis dan takut menyusahkan ibunya maka ia tidak berani memboroskan uang yang ada. Lagipula hatinya terlalu sedih ditinggal pergi oleh ayahnya. Karena kuliah belum bisa dimulai tanpa keuangan yang memadai maka ia memutuskan untuk diam-diam tinggal di hutan. Belajar dari seorang temannya ia mengetahui suatu tempat di tengah hutan kira-kira 5 jam perjalanan dari Sydney. Di sana ada sebuah rumah kecil yang telah ditinggalkan penghuninya. Tim pernah diajak ke sana oleh temannya tersebut.

Dengan berbekal uang seadanya Tim naik bis ke kota terdekat kemudian disambung dengan menumpang mobil orang akhirnya ia tinggal di rumah kecil itu. Di sana ia tinggal seorang diri, jarang bercukur sehingga rambutnya tumbuh sebahu dan tubuhnya dekil. Hanya setiap 2 minggu sekali ia berjalan ke tepi jalan untuk mencegat mobil hingga beroleh nunutan ke kota untuk membeli sekedar bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari.

Di dekat rumah kosong itu mengalir sebuah sungai kecil tempat ia mengambil air. Pada malam hari keadaannya gelap gulita. Kadang ia tidur di lantai kayu rumah dan beberapa ekor kangguru dengan hidungnya yang dingin datang mendengus-dengus menciuminya. Pernah juga perutnya dilalui seekor ular besar. Namun Tim tetap bertahan, ia bisa menahan diri hidup sedemikian selama 3 bulan sampai ibunya datang membawa uang.

3 Bulan yang Tak Terlupakan (1)

Nama lengkapnya adalah Timothy Lumintang Smith. Panggilannya akrabnya adalah Tim, seorang anak hasil perkawinan campuran, ibu berasal dari Manado dan ayahnya berasal dari Inggris. Tim berkunjung ke rumah kami bersama ibunya. Sang ibu cantik jelita, seorang artis, bintang film kawakan dari Indonesia. Kak Leoni memang hidup penuh 'glamours' di Jakarta. Ia pernah tinggal selama beberapa tahun di Inggris bersama suaminya. Tiba-tiba suaminya meninggal. Keadaan perusahaan jadi berguncang, ekonomi Indonesia sedang krisis dan ekonomi keluarga pun akhirnya ikut tergoyang. Terlanjur sudah, si Tim sudah didaftarkan untuk kuliah di UTS (University of Technology Sydney). Saat bertemu kami, mereka sedang menanti hasil penjualan rumah di London. Mereka menetapkan untuk pindah ke Australia menggunakan uang warisan ayah Tim.

Tim berwajah sedikit murung, rambutnya gondrong dan kusut. Wajah anak muda ini nampak lelah dan penuh penderitaan. Ketika ibunya sedang mengobrol, ia diam-diam beringsut pergi. Saat itu kami sedang mengobrol di Roof Top (bagian atas flat) sambil memandang ke arah Cockle Bay di Darling Harbour. Saya mendekatinya, karena merasa bahwa ia berjiwa seniman kami pun asyik mengobrol sendiri. Memang ternyata ia suka membuak kartun dan mengoleksi mainan, kami pun terbenam dalam obrolan yang akrab.

"Tahukah mbak?" Ujarnya memelas "Saya ini baru saja keluar dari hutan. Tepatnya 3 hari yang lalu. Saya tinggal di sana selama 3 bulan." Dengan mata tak percaya saya memandanginya, tak heran penampilannya sedemikian kusut.

Wednesday, May 17, 2006

Kisah Si Kwek-kwek dan Si Kwok-kwok (4)



Bagaimana mengatasi permasalahan ini ? Ternyata sesuai dengan peribahasa 'bisa karena biasa' maka kami pun akhirnya terbiasa menghadapi keadaan ini. Anggap saja itu tontonan ketoprak (istilah Jawanya) atau 'watching Punch and Judy' (istilah Bahasa Inggrisnya). Memang yang terjadi adalah tontonan menarik bak Punch and Judy, berakhir dengan saling memukul dan memaki dan kadang diiringi tangisan anak atau bayi. Jangan mencoba menonton secara terang-terangan karena walau pun jelas bila berteriak semacam itu pasti untuk didengarkan oleh tetangga namun bila ditonton mereka akan marah "Mind your own business! ".

Ketika pertama kali menonton pasti jantung berdebar-debar karena tontonannya cukup menakjubkan dan heboh tetapi lama-lama terbiasa juga bahkan kalau sepi kami bergumam:"Wah, kok sepi ya hari ini ?" Bila suara teriakan sudah mulai terdengar disertai daun pintu yang dibanting dan para kucing sudah siap duduk di bangku menghadap ke jendela kami pun berkata : "Drama hampir dimulai, apa ceritanya hari ini?" Inilah contoh beberapa lakon dan percakapan serta keunikan kejadian. Siap! Mulai..

Act One ( Perkara Kehabisan Tisu)
Dari rumah nomor 6 milik Kwek-kwek tba-tiba timbul suara menggelegar seperti halilintar di siang hari bolong: "Hi, you bloody woman...where's the toilet paper!" Itulah suara sang partner (pria) pada Kwek-kwek pasangannya. Untuk mengerti jalannya cerita kami melongok keluar dibalik lindungan pohon dan menyaksikan apa yang terjadi. Ternyata si Bred kehabisa tisu sementara ia berada di WC dan menyuruh Kwek-kwek meminta tisu di sebelah (tempat si Kwok-kwok) namun ia tersangkut dalam obrolan asyik di sana dan lupa perkara tisu. Salah satu anak dikirim untuk menjemput sang ibu yang pulang sepuluh menit kemudian (tidak langsung).

Kisah si Kwek-kwek dan Si Kwok-kwok (3)







Kehidupan Kwek-kwek dan Kwok-kwok sekeluarga sungguh mewah, mereka memiliki pesawat televisi plasma dan mainan-mainan mewah untuk anak-anaknya. Walau pun demikian ketenangan dan kedamaian jauh dari mereka. Percakapan selalu dilakukan dengan volume suara paling tinggi dan pertengkaran terjadi setiap saat. Oleh karena itulah julukan mereka si Kwek-kwek dan si Kwok-kwok karena bila bertengkar, kedua ekor kucing kami pun lari ke jendela untuk menonton, saking sengitnya pertengkaran tersebut.

HP selalu berada dalam genggaman tangan mereka jadi bila tidak bertengkar mereka menelepon teman atau sanak keluarga. Di rumah mereka tidak terpasang pesawat telepon, komunikasi selalu terjadi melalui telepon seluler atau melalui telepon umum di depan rumah.

Kasihan nasib Pak Harry yang tinggal persis di sebelah rumah nomor 6, kebunnya dirusak anak-anak nakal tersebut dan kolam renangnya dilempari batu dan sampah. Pada suatu siang Pak Harry yang sudah lanjut usia itu bertandang ke rumah kami dan mengeluh :" 40 tahun lamanya hidupku tenang dan damai tapi kini ......sungguh malang nasibku!" Ia hanya bisa menghela nafas panjang. Berulangkali ia berusaha menelepon Jawatan Sosial (Social Security) untuk melaporkan kedua tetangganya itu namun jawabannya mengecewakan, untuk mengusir mereka diperlukan tanda-tangan para tetangga lain namun bila para tetangga tanda tangan mereka pasti akan dimusuhi kedua keluarga itu. Sungguh seperti makan buah simalakama persoalannya, tidak dimakan mati ibu, dimakan mati bapak!


Tuesday, May 16, 2006

Kisah Si Kwek-kwek dan Si Kwok-kwok (2)





Dua buah rumah baru itu akhirnya selesai dibangun, kebunnya berumput hijau dan penuh dengan tanaman bunga, pagarnya besi berwarna hijau. Kotak Posnya pun telah terpasang dengan megahnya, siap menantikan penghuninya!

Tak lama setelah kedua rumah itu jadi, dua keluarga penghuninya pun tiba. Dua buah truk pengangkut barang berukuran besar berhenti di depan masing-masing rumah untuk menurunkan barang. Suara ribut perabot diturunkan sudahlah pasti, namun kami tidak menduga bahwa keramaian bunyi tidak akan berhenti pada hari itu saja. Ternyata suara ributnya 'bersambung'.


Bagaimana tidak ribut? Masing-masing keluarga memiliki 6 orang anak jadi isi setiap rumah delapan orang, dua keluarga berjumlah total 16 orang. Mendadak sontak lingkungan yang tadinya sunyi sepi damai sejahtera berubah menjadi ramai bak pasar senggol. Anak-anak berlarian kian kemari baik di halaman mereka mau pun di jalan raya depan rumah. Burung-burung dari Twin Gum Reserve yang bermigrasi ke sana pada pergantian musim cukup terperanjat, semula mereka yang ramai berkicau kini ditimpali suara teriakan para anak dan orang dewasa, mungkin suasananya mirip ketika Nabi Nuh menurunkan muatannya dari bahteranya (Noah's Ark).

Untuk selanjutnya keluarga penghuni rumah nomor 4 kami juluki Kwek-kwek dan nomor 6 Kwok-kwok. Kedua rumah itu ternyata milik 'Housing Commision' artinya rumah pemerintah yang diperuntukkan untuk keluarga tidak mampu. Di Australia, paling beruntung adalah para single mothers artinya para ibu yang 'tidak menikah' (walau pun memiliki partner) dan memiliki anak lebih dari 5 karena mereka berhak mendapatkan rumah seperti rumah no 4 dan 6 tersebut ditambah bantuan keuanngan untuk setiap anak. Kami hitung barangkali dengan 6 anak paling tidak mereka mendapat tunjangan 2000 dolar perminggunya. Alamak! Jumlah yang sangat besar bagi orang yang tidak bekerja.

Perkenalan




Sebelum muncul dalam Blog ini tulisan-tulisan dengan tema "Kisah-kisah Imigran di Australia" secara rutin diterbitkan di Majalah Gamelan (The First Indonesian Monthly Magazine published in Australia). Majalah Gamelan berhenti terbit pada bulan April 2006 setelah terbit selama hampir 8 tahun (sejak bulan Oktober 1998). Sirkulasinya 10 ribu eksemplar setiap bulan namun pada tahun terakhir penerbitannya menjadi 3 bulanan, semua edisinya berjumlah 48 issues. Bagi yang berminat bisa menghubungi kami untuk 'Back Coppies' (theresajackson@iinet.net.au).

Kisah si Kwek-kwek dan si Kwok-kwok (1)


Sebenarnya yang disebut kaum imigran di Australia boleh dikatakan semua orang kecuali orang Aborijin. Orang kulit putih mulai berdatangan ke Australia pada tahun 1788, sejarah tentang itu akan dituliskan nanti namun kisah pembukaan blog ini adalah tentang dua keluarga yang tinggal di depan tempat tinggal kami.
Pada saat kami membeli rumah ini, di depan rumah panggung berdinding fibro itu terbentang sebidang tanah lapang yang memandang ke arah lapangan sepak bola yang luas. Tak jauh dari lapangan itu terletak sebuah taman hijau yang disebut Twin Gum Reserve. Konon namanya demikian karena dahulu kala (kira-kira 20 tahun yang lalu) terdapat dua batang pohon Eucalyptus kembar di tempat itu. Pohon Kayu Putih berukuran raksasa itu pada suatu hari disengat halilintar dan salah satunya tumbang terbakar, jadi kini yang tinggal hanyalah salah satu dari si kembar tersebut namun namanya tetap saja si Twin Gum. Pada mulanya kami merasa lega memandang ke arah tanah lapang di depan kami tersebut dan pada saat pagi hari kami bisa melihat terbitnya sang surya dan kadang sebuah balon halogen raksasa pernah tampak mendarat di Twin Gum Reserve dengan beberapa orang penumpangnya, sungguh suatu pemandangan yang mengasyikkan. Tetangga di sebelah kiri adalah Bu Sylvia dan Pak Kevin yang sudah uzur dan di depan mereka tinggal Pak Harry yang telah berusia 80 tahun.
Keadaan lingkungan tenang dan damai, aman, nyaman serta sejahtera. Pak Harry gemar berkebun, kebunnya tertata rapi lengkap dengan kincir angin dan bunga-bunga berwarna-warni yang selalu dirawatnya dengan baik dan penuh cinta kasih. Bu Sylvia dan Pak Kevin sakit-sakitan karena sudah tua, yang jelas, Pak Kevin sudah lama berada di atas kursi roda dan dirawat oleh Bu Sylvia. Demikianlah, suasana lingkungan tempat tinggal kami itu tenang dan cukup menyenangkan, tetapi kami tidak menyadari apa yang akan terjadi dikemudian hari. Tiba-tiba patok-patok kayu mulai tampak terpancang di depan rumah kami di atas sebidang tanah kosong tersebut dan dalam waktu kira-kira 6 bulan dua buah rumah batu bata beratapkan genting merah nan kokoh berdiri di sana. Rumah nomor empat dan nomor enam. Kedua rumah itu menjadi bangunan paling mewah di jalan kami bahkan ketika saya diperbolehkan menengok keadaannya, sungguh menarik. Dinding berwarna krem, pintu serta jendelanya berbingkai allumunium berwarna krem berlapis kaca dan dilengkapi kawat kasa anti nyamuk, lantainya beralaskan karpet dan dapurnya cukup modern dan besar. Masing-masing rumah memiliki 4 kamar tidur, mempunyai halaman depan dan kebun belakang. Sungguh dapat dikatakan sebagai rumah idaman setiap keluarga! Terbetik dalam hati siapakah gerangan yang akan menjadi penghuni kedua rumah indah tersebut?